Pages

Senin, 23 Maret 2009

DEWASA



Seiring dengan bertambahnya usia, seorang individu dituntut untuk bertambah pula kedewasaannya. Kedewasaan sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah dan sudah menjadi sesuatu yang diwajibkan untuk dimiliki oleh setiap orang. Lebih jauh, bentuk kedewasaan itu sendiri sering dipandang dalam bentuk tingkatan. Dalam pandangan ini, seorang individu yang berusia 15 tahun diasumsikan tidak lebih dewasa dari individu yang berumur 29 tahun. Jika seseorang yang yang berumur 15 tahun berpandangan atau bersikap seperti orang 29 tahun, maka si 15 tahun dianggap dewasa. Sedangkan jika sebaliknya, maka si 29 tahun dianggap belum dewasa atau bahkan kekanak-kanakan.

Namun sayangnya, tingkat kedewasaan itu sendiri tidak jelas batasan-batasannya. Tidak pernah saya temui landasan yang mengatakan bahwa ketika umur sekian maka tingkat kedewasaan orang tersebut adalah sekian. Ketidakmampuan kita untuk mengkuantifikasi tingkat kedewasaan tersebut pada akhirnya membuat kita mengandalkan persepsi untuk menentukan tingkat kedewasaan. Persepsi atau cara pandang yang sering digunakan untuk mengukur kedewasaan seseorang adalah melalui kemampuan orang tersebut menghadapi masalah dan tantangan hidup.

Namun di sini pula dilemanya. Tiap orang berbeda-beda dalam menghadapi masalah dan tantangan hidup. Tidak ada standarisasi bahwa dengan bersikap begini dianggap dewasa, sedangkan kalau bersikap begitu belum dewasa. Yang pada akhirnya membuat tolok ukur kedewasaan itu sendiri menjadi serba relatif. Sehingga kalau kita bilang orang itu belum dewasa karena berbuat seperti itu, maka sebenarnya itu merupakan pandangan yang subjektif.

Mengapa subjektif? Karena kita tidak memposisikan diri dalam kesulitan orang tersebut dan dalam menganalisa, kita lebih besandar kepada persepsi, asumsi, dan pengalaman yang kita miliki. Tentu mudah saja bagi saya untuk bilang, “orang yang menangis karena kesal pada atasannya adalah orang yang tidak dewasa.” Tapi tentu pernyataan saya tadi tidaklah valid dan sangat subjektif. Saya bisa bicara seperti itu karena saya tidak di posisi orang tersebut, dan karena beranggapan menangis hanya karena atasan adalah tindakan orang yang kalah. Atau mungkin karena rasa gengsi saya sendiri, yang melihat menangis sebagai sebuah kelemahan. Atau mungkin karena latar belakang saya yang mendidik saya untuk bersikap begini kalau ada kejadian begitu.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa salahnya menangis? Kenapa kita tidak boleh menangis lantaran dianggap tidak dewasa? Apakah kita harus memblokir fitrah kita sebagai manusia demi sebuah kedewasaan? Apakah kedewasaan berarti kita tidak boleh curhat? Tidak boleh ingin didengar? Tidak boleh mengeluh? Atau bahkan tidak boleh tertawa lepas? Kalau kedewasaan adalah seperti itu, tentu sebuah nilai yang sangat mahal untuk dibayar. Kalau kedewasaan harus bertindak seperti itu, saya lebih memilih dianggap tidak dewasa. Karena saya tetap ingin curhat. Karena saya ingin didengar. Karena saya ingin mengeluh. Karena saya ingin tertawa lepas. Karena saya ingin merasa nikmat jadi manusia.

Tentu di sini bukan berarti bersikap seenaknya dan bertindak seperti anak kecil yang belum mengenal rasa malu. Maksud saya ingin menikmati jadi manusia tetap dalam batasan-batasan agama, moral, dan etika bermasyarakat.

Rasanya cukup adil jika kita bilang bahwa kedewasaan adalah sikap untuk mau memahami bahwa setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah dan tantangan hidup. Kalau ada orang yang terisak-isak atau bahkan teriak-teriak karena masalahnya, kita tidak perlu menghakimi bahwa orang tersebut tidak dewasa. Itu hanya cara dia bereaksi terhadap masalah. Bukan berarti orang tersebut kurang dewasa jika dibandingkan dengan mereka yang tertawa atau bahkan acuh dalam menghadapi sebuah masalah.

Kedewasaan sering dianggap sebagai tolok ukur kematangan seseorang. Namun dalam kenyataannya, tolok ukur tersebut lebih banyak berlandaskan kepada persepsi, asumsi, dan pengalaman sang pengamat. Sehingga akhirnya kedewasaan menjadi sesuatu yang relatif dan cenderung subjektif. Jika kedewasaan diartikan sebagai sikap yang harus mengabaikan sifat kemanusiaan kita seperti menangis, mengeluh, ingin dengar, atau bahkan tertawa, maka kedewasaan adalah sebuah tolok ukur yang terlampau mahal untuk dibayar. Kedewasaan menurut saya adalah sikap kita untuk mau mengerti bahwa setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah dan tantangan hidup. Jika kita mau mengerti perbedaan-perbedaan tersebut, maka saya pikir kita adalah orang-orang yang cukup dewasa, berapapun usia kita saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN ISI BUKU TAMU

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Themes | Free Song Lyrics, Cara Instal Theme Blog